“Hari ini harus lebih baik daripada kemarin, sedangkan esok adalah rahasia Ilahi.
Beribadahlah hari ini seolah-olah kau akan mati esok.”
Hidup adalah sebuah proses pembelajaran diri, di mana kita senantiasa mempelajari semua apa yang telah terjadi untuk menjadi sebuah pengalaman berharga di kemudian
hari. Banyak kejadian yang akan kita alami, baik itu merupakan sebuah
kejadian yang membantu atau kejadian yang membingungkan. Bahkan, sebuah kejadian di mana kita justru melakukan kesalahan, baik kepada diri sendiri, orang lain, kepada sebuah lingkungan, ataupun kepada ciptaan-Nya. Sehingga, semua tentunya akan menjadi sebuah memori yang berharga bagi kita, yang nantinya akan membawa kita untuk lebih waspada.
Benar atau salah
adalah hal yang lumrah dalam hidup. Bila benar kita tentunya akan
memperoleh sebuah apresiasi atau perasaan yang akan membahagiakan hati
dalam diri kita. Bila salah maka kebanyakan orang cenderung meratapinya,
dan bahkan relatif tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dalam
hal ini orang yang melakukan kesalahan akan berupaya memperbaiki
kesalahannya tersebut. Untuk kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama, maka dampaknya secara umum akan menimbulkan sebuah pandangan yang buruk terhadap kita. Itu bila kita memandangnya sebagi sebuah energi yang negatif.
Sebenarnya, kesalahan itu—bila kita sikapi sebagai sebuah proses pembelajaran dan memandangnya secara positif—akan menimbulkan sebuah semangat baru untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Bahkan, kita bisa menemukan sebuah ide atau gagasan yang mungkin saja timbul seketika dari proses pembelajaran kesalahan tersebut.
Semua bisa dimulai dengan ucapan kata “maaf”. Apa itu makna kata maaf? Apa hanya sebuah ucapan yang mudah meluncur dari mulut setiap kita melakukan kesalahan? Atau, sebuah penyesalan yang mendalam atas kesalahan yang harus kita tunaikan dengan tulus dan ikhlas? Umumnya, kita sering mendengar kata ini baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam suatu media. Sebuah kata yang
cukup simpel, tetapi sangatlah berarti dalam hidup ini. Karena tanpa
“maaf”, beberapa masalah khususnya masalah-masalah sosial atau pribadi di antara sesama makhluk Tuhan, atau masalah antara manusia dengan Sang Pencipta, bisa saja tidak selesai dan hukumannya akan berlaku nanti.
Kesalahan yang terjadi antarumat manusia adalah hal yang lumrah, bahkan antara manusia dengan Sang Pencipta pun. Manusia yang senantiasa melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya, dalam hal ini adalah melakukan kesalahan. Namun, bila ingin mengubah segala tindak dan perilaku kita, maka mulailah dengan sebuah kata “maaf”. Tentunya, bukan hanya sebatas kata yang kita ucapakan melalui bibir saja, namun perlu kita lakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas.
Sebenarnya, sudah seberapa seringkah kita—sebagai umat manusia—melakukan permohonan maaf kita kepada-Nya setiap hari? Atau, pernahkah Anda meminta maaf kepada seseorang yang pernah Anda sakiti, atau Anda lakukan kesalahan terhadapnya? Tentunya pertanyaan ini akan menggelitik kita karena baik memohon maaf kepada-Nya maupun meminta maaf kepada orang lain memerlukan sebuah pengorbanan,
terutama dalam hal emosi dan harga diri kita. Kebanyakan dari kita
hanya bisa memberikan maaf atas perlakuan seseorang kepada kita—yang tentunya kita anggap buruk di hadapan kita—namun biasanya sulit bagi kita untuk menekan ego dan harga diri untuk meminta maaf kepada sesama, bahkan kepada-Nya.
Umumnya kita selalu disibukan dengan kebiasaan dan aktivitas yang setiap hari kita lakukan. Kita lupa bahwa dalam kegiatan dan aktivitas tersebut—baik secara sengaja maupun tidak—kita akan melakukan kesalahan. Bahkan, untuk sejenak melakukan permohonan maaf kepada-Nya saja cenderung kita lupakan. Lalu, bagaimana kita bisa menurunkan ego untuk meminta maaf kepada sesama manusia?
Sungguh sebuah ironi yang membingungkan. Padahal, dengan mengucapkan sebuah kata “maaf” yang disertai hati yang ikhlas, itu akan membuka gerbang pengampunan dari-Nya. Itu juga akan membuat semua harus dimulai dari posisi awal, di mana antara kita dengan sesama ataupun dengan-Nya sudah tidak ada suatu hal yang perlu dipermasalahkan. Namun, dengan catatan kita tidak akan mengulanginya di kemudian hari.
Berkaca kepada keyakinan kita, tentunya kita tahu Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, yaitu kita umat manusia, akan selalu memaafkan segala perbuatan kita yang melanggar ketentuan-Nya. Apakah layak kita sebagai makhluknya ciptaannya cenderung memaksakan ego atau harga diri kita, untuk sekadar mengucapkan atau memohon kata maaf atas segala kesalahan kita kepada sesamanya?
Maaf mungkin saja tak bisa mengubah keadaan. Tetapi, dengan berani mengatakan maaf kepada seseorang, itu adalah tanda sebuah penyesalan. Kata maaf sendiri tidak boleh diucapkan sembarangan. Menurut saya, kata maaf itu sakral karena merupakan sebuah penyesalan yang benar-benar tulus dan ikhlas ketika diucapkan. Jadi, tidak seharusnya kita katakan “maaf” apabila kata maaf itu tidak muncul dari hati yang terdalam dan untuk sebuah penyesalan yang mendalam.
Sekarang banyak sekali
orang yang mengucapkan kata maaf hanya untuk mencari perhatian atau
sensasi saja. Kesalahan sama yang berulang membuat kata maaf tidak ada
gunanya dan hanya sebagai pembelaan diri. Hendaknya perlu kita sadari dan renungkan semua apa yang pernah kita lakukan, mulailah dengan kata “maaf”. Maka, berharaplah semua akan lebih baik dan belajarlah dari kesalahan karena sebagai manusia yang baik, tentunya kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Dan tentunya pula, setiap kesalahan yang terjadi diharapkan dapat menjadi sebuah pembelajaran untuk berkembang dan maju.
0 komentar:
Posting Komentar